POLEMIK PENDIDIKAN DI INDONESIA

POLEMIK PENDIDIKAN DI INDONESIA
live smart

Sabtu, 13 Desember 2014

Kemajemukan Agama, Ras Dan Etik

Makalah Kemajemukan Agama, Ras dan Etnik

MATA KULIAH KONSEP DASAR IPS

MAKALAH
“KEMAJEMUKAN AGAMA, RAS DAN ETNIK”

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah
Keragaman manusia bukan berarti manusia itu bermacam-macam atau berjenis - jenis seperti halnya hewan atau tumbuh - tumbuhan. Manusia sebagai makhluk Tuhan tetaplah berjenis satu. Keragaman manusia yang dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan, seperti perbedaan agama, ras dan etnis.
Perbedaan itu ada karena manusia adalah makhluk individu yang setiap individu memiliki latar kehidupan dan ciri-ciri khas tersendiri.

1.2.       Rumusan Masalah
a.         Jelaskan pengertian kemajemukan agama, ras dan etnik!.
b.        Apa yang di maksud dengan kemajemukan agama?
c.         Apa yang di maksud dengan kemajemukan ras?
d.        Dan apa pula yang di maksud dengan kemajemukan etnik?

1.3.       Tujuan Penulisan
Sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, sangatlah penting bagi kita untuk memahami kemajemukan yang ada ditengah masyarakat. Untuk memberikan pemahaman itulah maka makalah ini kami sajikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       Pengertian Kemajemukan Agama, Ras dan Etnik
Selain makhluk individu, manusia juga makhluk sosial yang membentuk kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup manusia juga beragam. Masyarakat sebagai persekutuan hidup itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan, misalnya dalam ras, suku, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin, daerah tempat tinggal, dan lain-lain. Hal yang demikian kita katakan sebagai unsur-unsur yang membentuk kemajemukan dalam masyarakat.
Kemajemukan asal katanya adalah majemuk, yang berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman, heterogenitas, pluralitas dan  kehomogenan; homogenitas.
Dengan demikian, kemajemukan agama, ras dan etnik dapat di artikan sebagai keanekaragaman agama, ras dan etnik.

2.2.       Kemajemukan Agama
2.2.1.      Makna Kemajemukan Agama
Kemajemukan agama (baca: pluralisme agama) merupakan salah satu isu sentral di tengah diskursus pemikiran Islam (Islamic thought). Isu ini semakin dirasakan mendesak setelah umat beragama mendapati bahwa dunia telah berubah menjadi sebuah desa global (global village). Kesan setiap penganut agama terisolasi dari penganut agama lain tergeser menjadi anggota masyarakat majemuk yang berdampingan dan saling berinteraksi. Karena itu, kehadiran umat lain (al-akhar)harus dianggap sebuah potensi ketimbang ancaman yang dapat merusak masyarakat.
Belajar dari perputaran roda sejarah masa lalu dimana umat beragama saling membunuh dan saling curiga, kini umat beragama diarahkan bagaimana ia memandang positif eksistensi umat beragama lain dan mengikis benih-benih kecurigaan itu. Pertumpahan darah atas nama Tuhan yang pernah terjadi dialihkan kepada persaudaraan kemanusiaan dalam kasih sayang-Nya. Kemajemukan agama tidak hanya sebatas pengakuan akan adanya kehadiran umat beragama lain, tapi juga kesediaan untuk menjalin kerjasama sosial demi tertatanya sebuah masyarakat yang harmonis dan religius.
Kemajemukan agama adalah hal yang tak bisa dihindari terutama di Indonesia dan untuk menjaga hubungan yang harmonis, setiap orang harus saling menghormati. Signifikansi kemajemukan agama ini seringkali mendapati batu sandungan dari pihak-pihak tertentu yang secara keliru memahaminya. Tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa kemajemukan agama berarti menyamakan semua agama, atau menyatukan semua agama dalam sebuah ikatan keyakinan baru (sinkretisme agama). Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, kemajemukan memiliki makna yang amat luas termasuk di dalamnya kerjasama umat beragama dan saling belajar akan kelebihan masing-masing.
2.2.2.      Pentingnya Kemajemukan Agama
Sedikitnya terdapat tiga karakteristik seseorang dalam menganut sebuah agama; pertama, eksklusif. Sikap ini menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran. Tidak demikian halnya dengan agama-agama lain;kedua, inklusif. Sikap ini menyatakan bahwa kebenaran tertinggi ada di dalam agamanya. Namun demikian di dalam agama-agama lain juga terdapat kebenaran;ketiga, pluralis/ paralel. Sikap ini menyatakan bahwa dalam setiap agama terdapat kebenaran yang juga diajarkan oleh agama yang dianutnya.
Kecuali sikap kedua dan ketiga, sikap pertama menunjukkan ketidaksiapan seseorang melihat realita yang sesungguhnya. Selain menyatakan bahwa agamanya sajalah yang merupakan sumber kebenaran tunggal, ia juga menafikan munculnya kebenaran dari sumber-sumber lain. Sikap demikian tidak saja berbahaya, tapi juga melahirkan kesan seolah-olah dunia hanya terdiri dari satu warna.
Ekspresi keberagamaan yang lebih lunak ditunjukkan pada sikap yang keduadan ketiga. Kesan yang ditawarkan kedua sikap ini menunjukkan bahwa pluralitas keyakinan adalah sebuah kenyataan sosiologis yang tak mungkin dihindari. Karena itu, tujuan utama seorang penganut agama bukan untuk melakukan uniformisasi atas kenyataan yang terbentang di depan mata, melainkan apa nilai tambah yang dapat digali dari keragaman keyakinan dan tradisi keagamaan itu. Darah hitam sejarah sebagai konsekuensi dari uniformisasi adalah cermin kelabu bagi kita agar tidak terjadi kembali. Tidak sedikit umat beragama saling membunuh satu sama lainnya karena semua merasa sebagai satu-satunya pemilik sah kebenaran Tuhan dan berkewajiban menyelamatkan seluruh manusia. Sikap inklusif maupun tadi bukan untuk memperlemah keimanan yang kita miliki, sebaliknya ia akan menjadi salah satu elemen penguat keimanan kita. Bukti kuatnya keimanan seseorang tidak ditunjukkan dengan klaim kebenaran (truth claim) yang dimilikinya dan tuduhan kesesatan atas keyakinan orang lain, melainkan sejauh mana kehadirannya dapat mengatasi nestapa semua mahluk Tuhan, baik mahluk bernyawa ataupun benda mati.
Kemajemukan agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama sama, untuk selanjutnya setiap orang dapat berpindah agama ketika bosan dengan agama terdahulu. Anggapan ini keliru, sebab kemajemukan agama tidak membenarkan adanya pencampuradukan agama atau mengizinkan pindah-pindah agama. Kemajemukan agama juga tidak hendak menegaskan bahwa semua penganut agama (apapun bentuknya) dapat dibenarkan. Untuk itu, kemajemukan agama dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, bukan hanya pengakuan akan adanya umat lain(the other) tapi juga keterpanggilan jiwa untuk menjalin kerjasama antar sesama pemeluk agama, bahkan ateis sekalipun. Kedua, bukan kosmopolitanisme dimana agama hidup secara berdampingan tapi tidak saling belajar apalagi bekerjasama.Ketiga, bukan relativisme yang mana semua agama dianggap benar karena penghargaan kepada penganutnya. Keempat, bukan sinkretisme dimana semua agama yang ada disatukan untuk kemudian melahirkan agama baru. Dengan substansi uraian tersebut, jelaslah bahwa kerjasama sosial antar penganut agama juga disebut pluralisme agama, istilah yang lebih populer untuk kemajemukan agama. Selain itu, batasan ini juga berfungsi untuk membantah berbagai pihak yang begitu emosional menolak istilah pluralisme agama sebelum mendudukkannya secara tepat.
Dengan demikian kemajemukan agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat majemuk, beraneka ragam dan terdiri dari berbagai suku dan agama. Hal itu justru hanya akan menggambarkan fragmentasi, bukan kemajemukan. Kemajemukan agama juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Kemajemukan agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan kemajemukan agama adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia. Hal itu bahkan mendorong lahirnya sebuah kesadaran baru dalam beragama seperti; to be religious is to be interreligious (beragama berarti membangun hubungan dengan penganut agama lain).
Ada banyak cara untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama dalam rangka menyikapi kemajemukan agama terutama di Indonesia. Pertama-tama kita garus membangkitkan pengakuan dan kesadaran, kewajiban dan kebutuhan bersama serta cara-cara dan dasar-dasar untuk membangkitkan proses komitmen dan penyadaran.
2.2.3.      Kemajemukan Agama dalam Perspektif Islam
Kesadaran teologis dan historis akan kemajemukan agama ini mendapat porsi yang besar dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal (QS. Al-Hujaraat/ 49: 13). Islam mengakui bahwa selain umat Islam juga ada umat beragama lain yang mesti dihargai (QS. Al-Maa’idah/ 5: 48). Islam juga meneguhkan bahwa keimanan merupakan pokok persoalan yang harus dijaga sampai kapanpun, tentu dengan catatan masing-masing pihak memberikan apresiasi (QS. Al-Kaafiruun/ 109: 1-5).
Keyakinan dalam beragama merupakan urusan masing-masing person dan tidak boleh dipaksakan (QS. Al-Baqarah/ 2: 256). Bahkan Mohamed Talbi dalam tulisannya, Religious Liberty (1998), menjelaskan bahwa diantara teks-teks wahyu lain hanya al-Qur’an yang menekankan secara tegas perihal kebebasan beragama ini. Selanjutnya al-Qur’an menyatakan bahwa seburuk apapun sembahan yang dimiliki non Muslim tidak boleh dicerca oleh kaum Muslimin (QS. Al-An’Aam/ 6: 108).Beberapa teks keagamaan itu mendasari seluruh hubungan antara kaum Muslimin dan non Muslim. Dengan demikian, kemajemukan adalah sesuatu yang menjadi ajaran penting dalam Islam.
Setiap penganut agama (khususnya Muslim) harus sadar bahwa ia hadir bersamaan dengan “orang lain”. Setiap orang bukan hanya memiliki satu identitas, melainkan multi identitas. Setiap identitas akan saling menyapa satu sama lainnya. Rasulullah juga mencanangkan semangat kemajemukan beragama ini. Ketika di Madinah misalnya, beliau mencetuskan Piagam Madinah (Miytsaq al-Madinah)yang memberikan jaminan kebebasan beragama baik Muslim, Yahudi maupun Musyrik Madinah. Hal serupa juga dilakukan Umar bin Khattab dengan membuatPiagam Aelia yang menjamin keamanan, penghargaan terhadap tempat ibadah dan kebebasan beribadah bagi kaum Nashrani. Disini terlihat jelas bahwa kemajemukan agama mengambil posisi penting dalam ajaran Islam.

2.3.       Kemajemukan Ras
2.3.1.      Pengertian Ras
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan Italia, yaitu razza. Pertama kali istilah ini diperkenalkan Franqois Bernier, antropologi prancis untuk mengemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hierarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atau biologis.
Ras adalah kategori individu yang secara turun-temurun memiliki ciri fisik dan biologis tertentu.  Manusia di dunia pasti memiliki perbedaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, bentuk rambut, dan sebagainya antara manusia lainnya dimuka bumi. 
Ciri-ciri yang menjadi identitas dari ras bersifat objektif atau somatic. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Semua kelompok ras kurang lebih sama dalam karakteristik fisik yang penting. Meskipun terdapat beberapa pengecualian, perbedaan fisik yang ada hanyalah bersifat kosmetik dan tidak fungsional.Perbedaan fisik pada makhuk manusia sangat sedikit, jika dibandingkan dengan perbedaan fisik yang terdapat pada banyak makhluk hidup lainnya, misalnya anjing dan kuda.
Kebanyakan ilmuwan dewasa ini sependapat bahwa semua kelompok ras termasuk dalam satu rumpun yang merupakan hasil dari suatu proses evolusi, dan semua kelompok ras kurang lebih sama kadar kemiripannya dengan hewan lainnya.
2.3.2.      Klasifikasi Ras di Dunia
Di dunia ini dihuni berbagai ras. Pada abad ke-19, para ahli biologi membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu:
a.         Kaukasoid
b.        Negroid
c.         dan Mongoloid.
2.3.3.      Ras atau Sub-Ras di Indonesia
Adapun ras atau subras yang mendiami kepulauan Indonesia adalah sebagai berikut:
a.         Papua melanesoid yang mendiami wilayah Papua, Aru, dan Kai.
b.        Weddoid yang mendiami daerah Sumatra bagian barat laut.
c.         Malayan Mongoloid yang meliputi Proto Melayu.
d.        Negroid yang mendiami pegunungan Maoke Papua.
e.         Asiatic Mongoloid yang terdiri atas keturunan Tionghoa dan Jepang yang tinggal di Indonesia.
f.         Kaukasoid terdiri atas keturunan Belanda, Inggris, keturunan Arab, India, Pakistan yang tinggal di Indonesia.

2.4.       Kemajemukan Etnik
2.4.1.      Pengertian Etnik
Sementara itu pengertian dari etnik dari berbagai sumber ialah adalah:
a.         Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
b.        Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
c.         Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa etnis adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.
2.4.2.      Pola-pola Hubungan antar Etnik
Pola hubungan antar etnik masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi, yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dam integrasi. Hal ini di ungkapkan secara panjang lebar oleh Michael Banton pada tahun 1967.
Adapun pengertiannya adalah sbb:
a.         Akulturasi akan terjadi apabila dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling mempengaruhi.
b.        Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasi kelompok lain.
c.         Paternalisme merupakan bentuk antar kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan salah satu kelompok terhadap kelompok lain, tanpa adanaya unsur dominasi.
d.        Pluralisme merupakan hubungan yang terjadi di antara sejumlah kelompok etnik, yang di dalamnya mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berkaitan.
e.         Integrasi adalah pola hubungan yang menekankan persamaan dan bahkan saling mengintergasikan dari satu dengan yang lain.

BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Kemajemukan asal katanya adalah majemuk, yang berarti terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, sedangkan kemajemukan berarti keanekaragaman, heterogenitas, pluralitas dan  kehomogenan; homogenitas. Dengan demikian, kemajemukan agama, ras dan etnik dapat di artikan sebagai keanekaragaman agama, ras dan etnik.
Kemajemukan agama adalah hal yang tak bisa dihindari terutama di Indonesia dan untuk menjaga hubungan yang harmonis, setiap orang harus saling menghormati.
Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam suatu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik, seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah.Perbedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Etnik adalah sekumpulan manusia yang memiliki kesamaan ras, adat, agama, bahasa, keturunan dan memiliki sejarah yang sama sehingga mereka memiliki keterikatan sosial sehingga mampu menciptakan sebuah sistem budaya dan mereka terikat didalamnya.

3.2.       Saran
Kami menyadrai bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab itu kami menyarankan kepada para pembaca untuk mencari sumber lain sebagai referensi tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Tt. Kemajemukan. Di akses dari http://kamus.sabda.org pada tanggal 19 Oktober 2014 pukul 15:37 Wib.
Anonim. Tt. Kemajemukan Agama dan Cara Menghormatinya. Di akses dari http:// www.milagrosnews.com pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 11:26 Wib.
Anonim. 2013. Kemajemukan Agama di Indonesia dan Konflik. Di akses dari http:// stoents11.blogspot.com pada tanggal 19 Oktober 2014 pukul 16:10 Wib.
Anonim. 2010. Sosiologi. Di akses dari http://ramadhanitaufiksosiologi.blog spot.com pada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 08:49 Wib.
Iskandar. 2011. Etnis dan Suku Bangsa. Di akses dari http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com pada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 08:37 Wib.
Maula, Shinta Soviatul. 2013. Keanekaragaman Agama, Ras dan Etnik. Di akses dari http: //nta-valen sweety.blogspot.com pada tanggal 18 Oktober 2014 pukul 11:19 Wib.
Sukmaningsih, Nurul. 2011. Diferensiasi Sosial. Di akses dari http://aprianila fanty.blogspot.compada tanggal 20 Oktober 2014 pukul 07:23 Wib.


Baca makalah lainnya:


Makalah Pengertian, Ruang Lingkup dan Objek Kajian Filsafat Pendidikan

MATA KULIAH FILSAFAT PENDIDIKAN

MAKALAH
“PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN OBJEK KAJIAN
FILSAFAT PENDIDIKAN”

A.           PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang Masalah
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mengetahui pengetahuan itu. Pendidikan adalah ikhtiar atau usaha manusia dewasa untuk mendewasakan peserta didik agar menjadi manusia mandiri dan bertanggung jawab baik terhadap dirinya maupun segala sesuatu di luar dirinya, orang lain, hewan dan sebagainya.

2.        Rumusan Masalah
a)         Apa pengertian filsafat pendidikan?
b)        Jelaskan mengenai ruang lingkup filsafat pendidikan!
c)         Apa yang menjadi objek kajian filsafat pendidikan?

3.        Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan, tujuan lainnya adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang filsafat pendidikan.

B.            PEMBAHASAN
1.        Pengertian
a.         Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani kuno, philos artinya cinta dan shopia artinya kearifan atau kebijakan. Filsafat berarti cinta yang mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Dan dapat pula diartikan sebagai sikap atau pandangan seseorang yang memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Menurut Harold titus, dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai sains yang berkaitan dengan metodologi, dan dalam arti luas filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup.
Menurut istilah, filsafat atau falsafah mempunyai banyak pengertian. Menurut socrates, filsafat adalah suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh atau berfikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.  Berfilsafat adalah berfikir radikal atau berfikir sampai radik-nya (akarnya) menyeluruh dan mendasar hal yang sekecil-kecilnya pun tidak akan luput dari pengamatan kefilsafatan. Pernyataan apapun dan betapa pun sederhananya tidak diterima begitu saja oleh filsafat tanpa pengujian yang seksama.
Muhammad Noor Syam (1986) merumuskan pengertian filsafat dari dua sisi. Pertama, filsafat sebagai aktivitas berfikir murni, atau kegiatan akal manusia dalam usaha mengerti secara mendalam mengenai segala sesuatu. Pengertian filsafat disini ialah berfilsafat. Kedua, filsafat sebagai produk kegiatan berfikir murni. Jadi merupakan suatu wujud ilmu sebagai hasil pemikiran dan penyelidikan berfilsafat, sehingga merupakan suatu bentuk perbendaharaan yang terorganisasi, memiliki sistematika tertentu filsafat juga diartikan satu bentuk ajaran tentang sesuatu atau tentang segala sesuatu sebagai satu ideology.
Filsafat adalah cinta akan kebajikan.  Barang siapa mempelajari filsafat diharapkan dapat mengetahui adanya mutiara-mutiara yang cemerlang dan mengunakan mereka sebagai pedoman dan pegangan untuk hidup bijaksana. Menurut Harold titus, dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai sains yang berkaitan dengan metodologi, dan dalam arti luas filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang segala sesuatu.
Filasafat adalah cinta pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.  Perubahan dalam suatu masyarakat. Baik, perubahan dalam adat dan kebiasaan serta sejarah biasanya dimulai dengan adanya sekelompok orang yang yakin akan suatu nilai ideal atau yang tertarik oleh pandangan hidup yang lain.
Dengan demikian, pemikiran filosofis berbeda dengan pemikiran yang lain. Pemikiran yang bersifat filosofis setidak-nya memiliki ciri-ciri yang jelas antara lain, tertuju pada upaya untuk mengadakan pemeriksaan dan penemuan. Disamping itu, berfikir filosofis adalah berfikir radikal dan menggunakan kemampuan yang optimal dari akal budi manusia.
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
b.        Filsafat Pendidikan
Eksistensi suatu bangsa adalah eksis dengan ideologi atau filsafat hidupnya, maka demi kelangsungan eksistensi itu dilakukan pewarisan nilai ideologi itu kepada generasi selanjutnya. Jalan yang efektif untuk itu hanya melalui pendidikan, kesadaran moral dan sikap mental yang menjadi kriteria manusia ideal dalam sistem nilai suatu bangsa bersumber pada ajaran filsafat yang dianut. Untuk menjamin supaya pendidikan itu benar dan prosesnya efektif, maka dibutuhkan landasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan.
Menurut Hasan Langgulung, filsafat pendidikan merupakan teori atau ideologi pendidikan yang muncul dari sikap filsafat seorang pendidik dari pengalaman-pengalaman dan pendidikan. Jadi, filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemerahan mengenai masalah pendidikan.
Pendidikan adalah pelaksanaan dari ide filsafat. Ide filsafat yang memberi kepastian bagi nilai peranan pendidikan. Seorang filsuf Amerika, Jhon Deway mengatakan bahwa filsafat itu adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pikiran mengenai pendidikan.
Filsafat pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai teori yang mendasari alam pikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan yang memiliki tugas untuk membawa para pelajar pada situasi ketika mereka secara cerdas menilai tujuan-tujuan akhir alternatif, mengaitkan dengaan tujuan-tujuan yang diinginkan, dan menyeleksi metode-metode pengajaran sesuai dengan tujuan. Secara holistik, tugas filsafat pendidikan itu membantu para pendidik berpikir secara bermakna tentang totalitas pendidikan dan proses hidup sehingga mereka selalu berada dalam posisi yang tepat dan dapat mengembangkan program yang konsisten serta menyeluruh sehingga para pelajar mampu menjadi diri manusia yang berkualitas.
Filsafat pendidikan adalah ilmu filsafat yang mengambil objek kajian tentang pendidikan. Filsafat dikatakan sebagai induk atau ibu dari ilmu-ilmu karena filsafat menguji ilmu-ilmu yang ada di bawahnya. Demikian juga dengan pendidikan, pendidikan adalah ilmu yang lahir dari rahim filsafat, pendidikan bukanlah suatu hal yang baru sehingga dapat diklaim sebagai temuan manusia modern, tetapi pendidikan adalah sesuatu yang sudah lama ada bahkan setua usia filsafat karena pendidikan merupakan bagian dari filsafat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah filsafat terapan dimana cara pandang filsafat masuk dan mengambil objek pendidikan sebagai materi kajiannya.

2.        Ruang Lingkup dan Objek Kajian Filsafat Pendidikan
Dalam rangka menggali, menyusun, dan mengembangkan pemikiran kefilsafatan tentang pendidikan terutama pendidikan Islam, maka perlu diikuti pola dan pemikiran kefilsafatan pada umumnya.
Adapun pola dan sistem pemikiran kefilsafatan sebagai suatu ilmu adalah:
a)         Pemikiran kefilsafatan harus bersifat sistematis, dalam arti cara berfikirnya bersifat logis dan rasional tentang hakikat permasalahan yang dihadapi. Hasil pemikirannya tersusun secara sistematis artinya satu bagian dengan bagian lainnya saling berhubungan.
b)        Tinjauan terhadap permasalahan yang dipikirkan bersifat radikal artinya menyangkut persoalan yang mendasar sampai keakar-akarnya.
c)         Ruang lingkup pemikirannya bersifat universal, artinya persoalan-persoalan yang dipikirkan mencakup hal-hal yang menyeluruh dan mengandung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan yang ada di alam ini, termasuk kehidupan umat manusia, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
d)        Meskipun pemikiran yang dilakukan lebih bersifat spekulatif, artinya pemikiran-pemikiran yang tidak didasari dengan pembuktian-pembuktian empiris atau eksperimental (seperti dalam ilmu alam), akan tetapi mengandung nilai-nilai obyektif. Dimaksud dengan nilai obyektif oleh permasalahannya adalah suatu realitas (kenyataan) yang ada pada obyek yang dipikirkannya.
Pola dan sistem berpikir filosofis demikian dilaksanakan dalam ruang lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai berikut:
a.         Cosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan, serta proses kejadian kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan sebagainya.
b.         Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya. Pemikiran ontologis akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu satu zat (monisme) ataukah dua zat (dualisme) atau banyak zat (pluralisme). Dan apakah kekuatan penciptaan alam semesta ini bersifat kebendaan, maka paham ini disebut materialisme.
Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi obyek filsafat pendidikan meliputi:
a.         Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature of Education).
b.         Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan (The Nature Of Man).
c.         Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
d.        Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
e.         Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
f.          Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan.
Dengan demikian dari uraian tersebut diproleh suatu kesimpulan bahwa yang menjadi obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.

C.           PENUTUP
1.        Kesimpulan
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani kuno, philos artinya cinta dan shopia artinya kearifan atau kebijakan. Filsafat berarti cinta yang mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Berfilsafat adalah berfikir radikal atau berfikir sampai radik-nya (akarnya) menyeluruh dan mendasar hal yang sekecil-kecilnya pun tidak akan luput dari pengamatan kefilsafatan.
Menjadi ruang lingkup atau obyek filsafat pendidikan ialah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-citakan.

2.        Saran
Karena kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, maka saran dan petunjuk dari pihak-pihak yang berkompeten.

DAFTAR PUSTAKA

Fajriyahmy. 2011. Filsafat Pendidikan. dari http://fajriyahmy.blogspot.com apa tanggal 27 September 2014 pukul 19:07 Wib.
Anshar. 2013. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan. dari http://anshar-mtk.blogspot.com pada tanggal 27 September 2014 pukul 19:01 Wib.
Natha Mochi. 2012. Kajian Filsafat Pendidikan. dari http://thatha-mochi.blogspot.com pada tanggal 27 September 2014 pukul 18:37 Wib.

Fauzi, Mudakir. 2009. Pengertian, Obyek Kajian, Fungsi Dan Tugas Filsafat Pendidikan. daridakir.wordpress.com pada tanggal 27 September 2014 pukul 18:46 Wib.


Lihat makalah lainnya: