KERAJAAN MATARAM KUNO
DAN PERKEMBANGANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10 kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok yang kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah Makuthawangsa Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai penutup Kerajaan Mataram Kuno atau medang.
Secara umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan mataram.Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal berdirinya kerajaan mataram kuno?
2. Bagaimana tatanan birokasi kerajaan mataram kuno?
3. Bagaimana Aspek Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Kebudayaan Hindu-Buddha?
Kerajaan Mataram kuno adalah kerajaan zaman hindu yang banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10 kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok yang kemudian di gantikan oleh Sri Lokapala. Selanjutnya adalah Makuthawangsa Wardhana, terakhir adalah Dharmawangsa Teguh sebagai penutup Kerajaan Mataram Kuno atau medang.
Secara umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno setelah berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah Mpu Sindok, baru membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929. Kerajaan yang didirikan Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan mataram.Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga ke Jawa Timur.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal berdirinya kerajaan mataram kuno?
2. Bagaimana tatanan birokasi kerajaan mataram kuno?
3. Bagaimana Aspek Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Kebudayaan Hindu-Buddha?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal-usul Wangsa Isyana
Istilah Isyana berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa,
yaitu gelar Mpu Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini
menganut agama Hindu aliran Siwa. Berdasarkan agama yang
dianut, Mpu Sindok diduga merupakan keturunan Sanjaya,
pendiri Kerajaan Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu Daksa yang memerintah
sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian
Sanjayawarsa (kalender Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah
keturunan asli Sanjaya. Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu Sindok dapat disebut
sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan Medang di Jawa Tengah hancur akibat
letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok
kemudian memindahkan ibu kota Medang dari Mataram menuju Tamwlang. Beberapa
tahun kemudian ibu kota dipindahkan lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu
terletak di daerah Jombang sekarang. Mpu Sindok tidak hanya
memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan
dinasti baru bernama Wangsa Isyana.Kerajaan yang baru tetap bernama Mataram,
sebagai mana ternyata dari prasasti Paradah tahun 865 Saka (943M) dan prasasti
Anjukladang tahun 859 Saka (937M). Kedudukan Mpu Sindok dalam kelurga raja-raja
yang memerintah di Mataram itu memang di permasalahkan. Seperti yang telah
dikemukakan, Mpu sindok pernah memangku jabatan Rakai Halu dan Rakryan
Mahapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa ia pewaris takhta kerajaan yang
sah, siapapun ayahnya. Jadi ia tidak perlu kawin dengan putri mahkota untuk
dapat menjadi raja.
Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948
M. Dari masa pemerintahannya didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar
ditulis di atas batu. Sebagian prasasti Pu Sindok berkenaan dengan
penetapan sima bagi suatu bangunan suci, kebanyakan atas
permintaan pejabat atau rakyat suatu desa. Yang ditetapkan menjadi sima atas
perintah raja sendiri hanyalah Desa Linggasutan dan sawah kakatikan di
Anjukladang. Dapat dilihat bahwa memang
Tidak ada peristiwa di bidang politik yang terdapat dalam
prasasti Pu Sindok. Kalaupun ada, hanya samar-samar saja dan terdapat dalam
prasasti tembaga yang tinulad. Rupa-rupanya perpindahan pusat
kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu desertai dengan penaklukan-penaklukan. Hal
ini dapat dipahami karena sejak Rakai Watukara dyah Balitung kekuasaan kerajaan
Mataram telah meluas sampai ke Jawa Timur. Bahwa mungkin ada juga sana-sini
raja bawahan atau penguasa setempat yang tidak mau tunduk, dan perlu dikuasai
dengan kekutan senjata, bukanlah hal yang mustahil. Adanya prasasti Waharu dan
prasasti Sumbat memang membayangkan adanya kemungkinan tersebut. Bahwa pusat
kerajaan Pu Sindok juga mengalami perpindahan mungkin juga berhubungan dengan
adanya serangan musuh. Seperti telah disebutkan, ibu kota kerajaan yang pertama
terletak di Tamwlang. Akan tetapi, di dalam prasasti Paradah dan Prasasti
Anjukladang ibu kota kerajaan disebutkan ada di Watugaluh.
Dari sekian banyak bangunan suci yang disebutkan di
dalam prasasti-prasasti Pu Sindok, belum ada satu pun yang dapat dilokalisasikan
dengan tepat. Prasasti Anjukladang menyebutkan adanya Candi Lor dan sekarang
didekat Berbek, Kabupaten nganjuk ada reruntuhan candi. Sebenarnya diharapkan
adanya suatu peninggalan arkeologi yang dapan diidentifikasikan dengan candi
kerajaan, sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru
untuk pusatkerajaan yang baru di Jawa Timur. Akan tetapi hingga kini belum ada
peninggalan candi di Jawa Timur yang dapat dianggap sebagai candi peninggalan
kerajaan.
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan
tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku
keturunan Mpu Sindok. Prasasti inilah yang melahirkan pendapat tentang
munculnya sebuah dinasti baru sebagai kelanjutan Wangsa Sanjaya.Cikal bakal
Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia
memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan
pangeran Bali bernama Sri Lokapala. Dari perkawinan itu
lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki putri
bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga.Ayah dari Airlangga
adalah Udayana Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama
Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya.
Hal ini menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada
Udayana. Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali
diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung(sekitar
tahun 890-900-an)
Prasasti Pucangan juga menyebutkan seorang raja
bernama Dharmawangsa Teguh, mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para
sejarawan cenderung sepakat bahwa Dharmawangsa adalah putra
Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yang
menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa.Dengan
demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun
prasasti Pucangan tidak menyebutnya dengan pasti.
Dari sumber kitab Warata Pura, kitab ini
merupakan salinan kedalam bahasa jawa kuno dari kitab senama dalam bahasa sansekerta. Angka
tahun dituliskannya tahun kitab itu yaitu 918 saka ( 916 M ) dan di
kitab juga disebutkan nama raja yang memerintah saat itu yakni Sri
Darmawangsa Teguh Anantawikrama. Selain ditemukannya kitab juga
ditemukan sebuah prasasti, yakni adalah prasasti Jayawarsa Dikwijaya Sastra
Prabudalam kitab itu disebutkan bahwa raja Sri
Jayawarsa Digwijaya Sastra Prabu menyebutkan bahwa dirinya anak cucu sang
Apanji Wijayamertawerdana, yang kemudian bergelar Abiseka sebagai Raja Sri
Istana Darmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa.Dan yang terakhir sebuah candi
Dharma Parhyangan di Wetan, candi ini merupakan candi untuk mengenang kematian
Darmawangsa Teguh.
Setelah
pemerintahan Pu Sindok ada masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa
Airlangga. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka
tahun yang ditentukan, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti
Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka
(1012-1013 M). prasasti hara-hara berisi keterangan tentang pemberian
tanah sima oleh Pu Mano, yang telah diwarisinya dari nenek
moyangnya, yang terletak di Desa Hara-hara, di sebelah selatan perumahannya,
kepada Mpungku di Susuk Pager dan Mpungku sebagai tempat menirikan bangunan
suci (kuti). Sebagai sumber pembiayaan pemeliharaan dan biaya upacara di dalam
bangunan suci tersebut, ditebuslah sawah yang terletak di sebelah selatan
seluas 3tampah yang telah digadai oleh pungku Susuk Pager dan
Mpungku di Nairanja.
Prasasti
Kawambang Kulwan boleh dikatan belum diterbitkan sebagaimana mestinya.Apa yang
terdapat dalam transkipi Brandes sebagian kecil permulaannya saja, itu pun
hanya dibaca satu sisi, sedang prasasti ini ditulis melingkar. Yang dapat
ditangkap ialah bahwa prasasti ini memuat anugerah raja kepada Samgat Kanuruhan
pu Burung bahwwa prasasti sima di Desa Kawambang Kulwan, agar
Sang Pamgat Kanuruhan mendirikan suatu bangunan suci pemujaan dewa (an padamla
parhyangan). Melihat angka tahunnya, prsasti ini berasa dari masa pemerintahan
Dharmangsa Teguh. Sayang nama rajanya belum terbaca; yang ada ialah nama
pejabat tinggi yang menerima hadiah, yaitu Pu Dharmmangsanggaramawikranta.
Suatu
peristiwa unik yang diperingati dengan prasasti yang dipahat pada batu alam
yang besar ialah perbaikan jalan oleh Samgat Lucem pu Ghek (atau Lok), dan
penanaman pohon beringin oleh Sang Apanji Tepet. Rupa-rupanya pohon itu ditanam
di tempat permulaan atau akhir jalan yang diperbaiki itu.Peristiwa ini
diperingati dengan prasasti ucem yang ditulis dengan huruf kuadrat yang besar-besar.Raja
Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang berdasarkan kitab
Wirataparwa, memerintah dalam dasawarsa terakhir abad X M, dan mungkin sampai
tahun 1017 M. Melihat gelarnya yang mengandung unsur Isana ia jelas keturunan
Pu Sindok secara langsung. Kemungkinan besar ia anak Makutawangsa-warddhana,
jadi saudara Mahendradatta Gunapriya-dharmmapatni. Ia menggantikan ayahnya
duduk diatas takhta kerjaan Mataram, sedang Mahendradatta kawin dengan Udayana,
yang ternyata seorang raja dari Wangsa Warmmadewa di Bali. Dapat dipahami
sepenuhnya mengapa Airlangga menyebut dirinya masih anggota keluarga dari raja
Dharmmawangsa Teguh
Dharmawangsa
Teguh memerintah dalam
dasawarsa terakhir abad 10 M dan mungkin sampai 1017 M. Dharmawangsa Teguh
memiliki gelar Sri Isana Dharmawangsa Teguh
Anantawikramottunggadewa (menurut prasati raja Jayawarsa Digwijaya
Sastraprabu dan kitab Wirataparwa). Melihat gelar yang disandang mengandung
unsur Isana, jelas bahwa Dharmawangsa Teguh keturunan dari Empu Sendok secara
langsung (Prasati Pacangan). Kemungkinan besar Dharmawangsa Teguh anak dari
Makutawangsawardana, dia juga merupakan saudara dari Mahendradatta Gunapriya
Darmapatni. Dharmawangsa Teguh menggantikan ayahnya dengan duduk di atas tahta
Kerajaan Mataram, sedangkan Mahendradatta kawin dengan Udayana yang ternyata
seorang putri raja dari wangsa Warmmadewa di Bali. Jadi pada waktu itu Bali
sudah ada di bawah pengaruh jawa, itu terbukti dengan ditemukannya
prasasti-prasasti di Bali yang menggunakan bahasa Jawa kuno.
Hubungan Jawa dan Sriwijaya (Sumatra) pada saat itu
kurang baik. Menurut LC Damais pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Jawa
pernah menyerbu Sriwijaya untuk menghancurkan hubungan Sriwijaya dan Cina,
tetapi serangan dari Dharmawangsa Teguh tidak berpengaruh pada kedaulatan
Sriwijaya, karena sejak tahun 1003 M datang lagi utusan Sriwijaya ke Cina dan
sebaliknya untuk saling memberikan upeti. Hubungan itu berlanjut sampai 1178 M.
Pemerintahan Dharmawangsa
Teguh juga melakukan ekspedisi ke Sumatra. Ini terbukti adanya prasasti batu
yaitu bernama Prasasti Hujung Langit ( Bawang ) di daerah Sumatra Selatan tahun
919 Saka ( 997 M ) yang berbahasa Jawa kuno.
Dharmawangsa Teguh meletakkan pusat kerajaannya untuk
yang pertama kali adalah di Madiun, kemudian Dharmawangsa Teguh memindahkan
pusat kerajaannya di daerah Jombang. Setelah itu pindah lagi di daerah
Maospati. Perpindahan pusat kerajaan pada masa Dharmawangsa Teguh tidak jelas
sumber dan penjelasannya.Dharmawangsa Teguh yang begitu berambisi untuk meluaskan
kekuasaanya sampai keluar pulau Jawa ternyata mengalami keruntuhan ditangan
raja bawahannya yaitu raja Wurawari (daerah Banjumas). Raja Wurawari sangat
dendam dengan Dharmawangsa Teguh karena ambisinya untuk mendampingi putri
Dharmawangsa Teguh tidak tercapai, karena Dharmawangsa Teguh menikahkan
putrinya dengan Airlangga. Akhirnya kerajaan yang dipimpin Dharmawangsa Teguh
hancur menjadi abu karena mendapat serangan yang tidak terduga dari raja
Wurawari dan seluruh daerah yang pernah ditaklukan oleh Airlangga jatuh
ketangan raja Wurawari. Dengan hancurnya pemerinthan Dharmawangsa teguh raja
Wurawari cukup puas melampiaskan sakit hatinya karena tidak berhasil menjadi
menantu Dharmawangsa Teguh.
Seperti yang dapat dilihat dari prasasti Pucangan Dharmawangsa
dicandikan di Wwatan,
sekarang masih ada di desa Wotan di daerah kecamatan Maospati. Dharmawangsa dalam
masa pemerintahaannya menitik beratkan pada pola politik luar negrinya. Ketika
Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa sekitar tahun 992 yang hasilnya Sriwijaya
kalah, akibatnya Sriwijaya mengadakan pembalasan atas serangan itu terhadap
Dharmawangsa pada tahun 1006 M dibantu oleh raja Wurawari, sehingga
mengakibatkan kehancuran kerjaan Dharmawangsa atau Pralaya.
2.2 Kehidupan
Masyarakat
Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Mataram Kuno
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawaperubahan baru dalam kehidupansosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
berevolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan dari
yang semula sistem barter hingga sistem nilai itu karuang.Sumber−sumber berita
Cina mengungkapkan keadaan masyarakat Mataram dari abad ke−7 sampai
ke−10. Kegiatan perdagangan baik di dalam maupun luar negeri berlangsung
ramai. Hal ini terbukti dari ditemukannya barang-barang keramik dari
Vietnam dan Cina. Kenyataa ini dikuatkan lagi dengan berita dari Dinasi
Tang yang menceritakan kebesaran sebuah kerajaan dari Jawa.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperolehin formasi adanya
sekumpulan orang asing yang berdiam di Mataram. Mereka mempunyai status yang
berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang
tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Mataram. Kemungkinan besar mereka
itu adalah parasaudagar dariluar negeri.Namun, sumber−sumber local tidak
memperinci lebih lanjut tentang orang−orang asingini. Kemungkinan besar mereka
adalah kaum migran dari Cina.Dari berita Cina diketahui bahwa di ibu kota
kerajaan terdapat istana raja yang dikelilingi dinding dari batu bata dan
batang kayu. Di dalam istana, berdiam raja beserta keluarganya dan para
abdi. Di luaristana (masih di dalam lingkungan dinding kota) terdapat kediaman
param pejabat tinggi kerajaan termasuk putra mahkota beserta keluarganya.
Mereka tinggal dalam perkampungan khusus di manapara hamba dan budak yang
dipekerjakan di istana juga tinggl sekitarnya. Sisa-sisa peninggalan
pemukiman khusus ini sampai sekarang masih bisa kita temukan di Yogyakarta dan
Surakarta. Di luar tembok kota berdiam rakyat yang merupakan kelompok terbesar.
Kehidupan masyarakat Mataram umumnya bersifat agraris
karena pusat Mataram terletak di pedalaman, bukan di pesisir pantai.
Pertanian merupakan sumber kehidupan kebanyakan rakyat Mataram. Di sampingitu,
penduduk di desa (disebutwanua) memelihara ternak seperti kambing,
kerbau, sapi, ayam, babi, danitik.Sebagai tenagakerja,
merekajugaberdagang danmenjadi pengrajin.
Dari Prasasti Purworejo (900 M) diperoleh informasi
tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diaadakan setiap hari
melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurutka lender Jawa Kuno.
Pada hari Kliwon, pasardiadakan di pusatkota. Pada har I Mani satau
legi, pasar diadakan di desabagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar
diadakan di desa sebelah selatan.Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah
barat. Padahari Wage, pasar diadakan di desasebelah utara.
Pada hari pasaran ini, desa−desa yang menjadi pusat
perdagangan, ramai didatangi pembeli dan penjual dari desa−desa lain. Mereka
datang dengan berbagai cara, melalui transportasi darat maupun sungai sambil
membawa barang dagangannya seperti beras, buah−buahan, dan ternak untuk
dibarterdengan kebutuhan yang lain. Selain pertanian, industri rumah tangga juga
sudah berkembang. Beberapa hasil industry ini antara lain anyaman seperti
keranjang, perkakas dari besi, emas, tembaga, perunggu, pakaian, gula, kelapa,
arang, dan kapur sirih. Hasil produksi industri ini dapat diperoleh di
pasar−pasar tadi.Sementaraitu, bila seseorang berjasa (biasanya pejabat militer
atau kerabat istana) kepada Kerajaan, maka orang bersangkutan akan diberi hak
memiliki tanah untuk dikelola. Biasanya tempat itu adalah hutan yang kemudian
dibukamenjadi pemukiman baru. Orang yang diberi tanah baru itu diangkat menjadi
penguasa tempat yang baru dihadiahkan kepadanya. Ia bisa saja menjadi akuwu
(kepaladesa), senopati, atau adipati atau menteri. Bisa pula sebuah wilayah
dihadiahkan kepada kaum brahmana atau rahibuntuk di jadikan asrama sebagai
tempat tinggal mereka, dan di sekitar asrama tersebut biasanya didirikan candi
atau wihara.
Aspek Kehidupan Ekonomi
Rakyat Mataram menggantungkan kehidupannya pada hasil
pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain
yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya.Usaha untuk
meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa
pemerintahan Rakai Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi,
seperti beras, buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil
industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga,
pakaian,paying,keranjang, dan barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur
sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta
telurnya juga di perjualbelikan.Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian
ketika Raja Balitung berkuasa.Raja telah memerintahkan untuk membuat
pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai
Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas
perdagangan melalui aliran sungai tersebut.Sebagai imbalannya, penduduk desa di
kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya
pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan
perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
Struktur Birokrasi
Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno
raja (Sri Maharaja) ialah penguasa tertinggi. Dari gelar abhiseka dan
puji-pujian kepada raja di dalam berbagai prasasti dan kitab-kitab susastra
Jawa Kuno sejak raja Airlangga. Dari jaman Mataram Kuno hanya ada dua orang
raja yang bergelar abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayottunggadewa
dan Rakai Layang dyah Tulodong Sri Saijanasanmatanuragatungadewa.Di naskah Ramayana
Kakawin yang di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas
kewajiban seorang raja), yaitu bagian yang merupakan ajaran Rama kepada adiknya
Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaranastrabrata, yaitu
perilaku yang delapan. Dikatakan bahwa di dalam diri seorang raja berpadu 8
dewa-dewa, yaitu Indra, Yama, Suryya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Secara singkat bahwa seorang raja harus berpegang teguh
pada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan
memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa (wnang wigraha
anugerah), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap
gejolak-gejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar rakyatnya senantiasa
memperoleh rasa tenteram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan
kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya.Sejak raja Airlangga sampai
munculnya Wangsa Rajasa raja-raja menggunakan gelar abhiseka yang berarti
penjelmaan Wisnu, hal itu berlandaskan konsepsi kosmologis. Konsepsi ini
dipergunaka oleh nenek moyang kita untuk membenarkan fakta sejarah tentang
tergulingkannya seorang maharaja oleh raja bawahannya.
Contoh tentang digulingkannya seorang maharaja oleh
seorang penguasa daerah atau oleh maharaja dari mandala yang lain, ialah perang
saudara, atau perang perebutan kekuasaan di antara para pangeran, yang
disebabkan karena raja di jaman dulu, disamping parameswari banyak
yang dapat memberikan anak laki-laki kepada raja. Perang saudara dan perebutan
kekuasaan di antara para pangeran itu terjadi pada masa sesudah Rakai Kayuwangi
pu Lokapala sampai ke masa pemerintahan Pu Sindok, dan pada masa sesudah raja
Airlangga.Sebenarnya telah ada ketentuan mengenai hal waris atas takhta
kerajaan, yaitu bahwa ya ng pertama-tama berhak untuk menggantikan duduk di
atas takhta kerajaan ialah anak-anak raja yang lahir dari parameswari.
Di dalam prasasti-prasasti dari jaman pemerintahan Rakai
Kayuwangi dan Rakai Watukura dijumpai seorang pejabat yang kedudukannya
setingkat dengan para putra raja itu, yaitu pamgat tiruan.Gelar pamgat menunjukkan
bahwa ia seorang pejabat keagamaan. Dari prasasti-prasasti dari masa rajakula
Rajasa pamgat tiruan ialah seorang upapatti atau
pejabat kehakiman.Ada satu pejabat yang hingga sekarang hanya dijumpai di dalam
prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur, yaiturakryan kanuruhan. Gelar kanuruhan ditemukan
juga di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu candi perwara Candi Loro
Jonggrang di Prambanan pada deretan yang sebelah timur.Rakryan kanuruhan mulai
tampak sebagai pejabat dalam hirarki pemerintahan pusat sejak jaman empu
sindok. Pada masa pemerintahan raja Dharmmawangsa Airlangga ia merupakan
pejabat yang terpenting sesudah para putra raja keadaan ini terus berlangsung
sepanjang jaman Kadiri. Dalam jaman ini ia disebut sebagai yang terutama di
antara pada tanda rakryan ring pakirakiran.
Itulah gambaran yang diperoleh dari sumber prasasti
tentang birokrasi ditingkat pusat kerajaan. Raja didampingi oleh para pangeran,
di antaranya putra mahkota, dan seorang pejabat kehakiman. Mereka itu ialah
rakarayan mapati I hino, I halu, I sirikan, I wka, dan pamgat tiruan. Berita
cina yang menyangkut masalah birokrasi di kerajaan Mataram tidak juga banyak
menolong dalam mengungkapkan selengkapnya masalah ini. Berita dari jaman
rajakula T’ang (Hsin-T’ang-shu) mengatakan bahwa ada 32 pejabat tinggi, dan
yang pertama di antara mereka ialah ta-tso-kan-hiung. Berita dari jaman
rajakula Sung mengatakan : tiga orang putra raja bertindak sebagai raja muda,
dan ada pejabat yang bergelar samgat dan empat rakryan, yang bersama-sama
menyelenggarakan Negara sebagaimana para menteri di Cina, mereka itu tidak
memperoleh gaji tetap, tetapi pada waktu-waktu tertentu memperoleh hasil bumi
dan barang-barang lain semacamnya.
Berita yang pertama pernah ditafsirkan sebagai berita
yang khusus berkenaan dengan masa pemerintahan Rakai Watukara Dyah Balitung,
sebab ta-tso-kan-hiung ditafsirkan sebagai Daksa, saudara raja yang gagah
berani.Berita yang kedua lebih terperinci, dan dalam beberapa hal memang sesuai
dengan data epigrafis. Di atas sudah dilihat adanya tiga, bahkan sebenarnya
empat orang putra raja yang duduk dalam hirarki pemerintahan. Tetapi bahwa
selanjutnya ada samgat dan empat rakryan tidaklah sesuai, karena kenyataannya
ada empat samgat dan lima orang rakryan.
Dengan perkataan lain kebanyakan di antara para manilala
drawiya haji itu ialah abdi dalem keraton, yang menikmati kekayaan raja dalam
arti menerima gaji tetap dari perbendaharaan kerajaan. Para pejabat tinggi
kerajaan dan para pangeran yang menduduki jabatan di dalam hirarki pemerintahan
tingkat pusat, baik yang bergelar rakai maupun pamgat, lebih banyak tingkat di
lingkungan ibukota kerajaan. Sayang sekali prasasti-prasasti tidak memberikan
data yang lengkap tentang struktur birokrasi ditingkat watak itu. Lebih
terperinci ialah keterangan mengenai pejabat-pejabat di bawah para penguasa
daerah. Seorang Rakai Patapan misalnya, disebut mempunyai bawahan tuhan ning
nayaka, parujar atau parwuwus, matanda, tuhan ning kalula, tuhan ning lampuran,
tuhan ning mangrakat atau manapal, dan tuhan ning wadia rarai.
Administrasi Pengadilan
Sumber penghasilan kerajaan dan pemerintahan daerah yang
lain ialah denda-denda yang dikenakan atas segala macam tindak pidana. Di dalam
prasasti-prasasti disebut sukha dukha, yang di dalam naskah-naskah hukum
disebut hala hayu, denda-denda itu di dalam prasasti juga disebut drawya haji.
Hal ini tidak perlu mengherankan karena dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah
hukum menjadi pegangan para hakim itu tentu tidak ditulis di atas logam, karena
akan menjadi berat dan mahal.Beberapa naskah hukum jawa kuno yang sampai kepada
kita diketahui merupakan olahan dari naskah-naskah hukum di India. Antara lain
kitab Purwadhigama, Kuramanawa atau Siwasasana dan Swarajambhu. Menurut
penelitian van Naerssen memang ada petunjuk bahwa naskah-naskah hukum jawa kuno
itu diulis kembali pada waktu kemudian.
Karena dari jaman Mataram tidak ada naskah hukum yang
sampai kepada kita, maka gambaran tentang administrasi kehakiman hanya dapat
disuguhkan di sini berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan
peradilan (Jaya Patra), dan keterangan tentang sukha dukha yang terdapat dalam
prasasti-prasasti yang lain.Perkara yang dipermasalahkan di dalam prasasti
Guntur dan Wurudu Kidul dapat diselesaikan ditingkat watak oleh seorang pamgat.
Sudah kita lihat bahwa yang diperkarakan di dalam prasasti Guntur ialah masalah
hutang piutang. Di dalam surat keputusan itu disebutkan sebagai sebab yang
pertama mengapa Sang Dharmma dikalahkan perkaranya ialah karena ia tidak hadir
di persidangan. Alasan yang serupa juga digunakan terhadap Sang Pamariwa yang
digugat oleh Sang Danadi.
Sebagai alasan yang kedua mengapa Sang Dharmma dikalahkan
perkaranya ialah karena menurut kitab hukum hutang istri yang dibuat tanpa
pengetahuan suaminya, apalagi kalau mereka itu tidak mempunyai anak, tidak
menjadi tanggung jawab si suami. Pasal yang mengatakan demikian tidak terdapat
di dalam naskah hukum yang diterbitkan oleh Jonker, juga tidak ada di dalam bab
VIII dari Manawadharmmasastra. Hal yang diajukan di dalam prasasti Wurudu Kidul
tidak terdapat di dalam naskah hukum yang kita kenal. Mungkin tidak ada naskah
hukum yang mengatur masalah status kewarganegaraan seseorang. Maka dalam hal
ini keputusan diambil berdasarkan kesaksian kaum keluarga Sang Dhanadi dan
penduduk asli yang netral dari beberapa desa di luar desa tempat tinggal Sang
Dhanadi.
Di dalam naskah-naskah hukum memang ada juga dicantumkan
syarat-syarat seorang saksi, antara lain harus orang yang telah berkeluarga,
yang banyak anaknya, penduduk asli, dan orang-orang yang tidak berkepentingan
di dalam perkaranya, baik dari kasta ksatrya, waisya, maupun sudra. Seorang
brahmana tidak dapat dijadikan saksi, demikian pula raja sendiri, para tukang
dan pandai, dan para pendeta yang telah meninggalkan keduniaan.Bahwa pihak yang
tidak hadir dalam persidangan harus dinyatakan kalah perkaranya memang
ditentukan di dalam naskah hukum. Dalam kasus Sang Dharmma melawan Pu Tabwel
sebenarnya ada ketentuan bahwa Sang Dharmma dapat dikenai denda, karena menagih
hutang tetapi tidak mau datang di pengadilan untuk menjelaskan duduk perkaranya
hutang piutang itu. Tetapi ternyata di dalam prasasti Guntur itu tidak ada
disebutkan hukuman bagi Sang Dharmma.
Keadaan Masyarakat
Di samping stratifikasi sosial berdasarkan pembagian
kasta seperti yang ternyata dari berbagai prasasti, ada lagi stratifikasi
sosial berdasarkan kedudukan seseorang di dalam masyarakat, baik kedudukan di
dalam struktur birokrasi maupun kedudukan sosial berdasarkan kekayaan materil.
Dalam kenyataan stratifikasi sosial masyarakat jawa kuno bersifat kompleks dan
tumpang tindih. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa dari seorang kasta
brahmana, kasta yang tertinggi, dapat menduduki jabatan dalam struktur
birokrasi tingkat pusat atau tingkat watak, dapat juga ditingkat desa (Wanua),
tetapi dapat juga tidak mempunyai sesuatu jabatan. Ada juga orang dari kasta
ksatrya yang dapat menduduki jabatan keagamaan ditingkat pusat, seperti Sang
pamgat tiruan misalnya, dan dapat juga menjadi pertapa dan tinggal di suatu
biara. Di ibukota kerajaan, yang menurut berita-berita Cina dikelilingi oleh
dinding, baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana
raja yang juga dikelilingi oleh dinding. Di luar istana, masih di dalam lingkungan
dinding kota, terdapat kediaman putra mahkota (Rake hino), dan tiga orang
adiknya, dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Rumah-rumah mereka itu
terletak di dalam kampung khusus di dalam lingkungan tembok kota, di mana
tinggal para hamba mereka masing-masing.
Di dalam lingkungan tembok kota itu juga tinggal para
pejabat sipil yang lebih rendah, yaitu para manilala drawyah haji yang
jumlahnya mungkin sampai kira-kira tiga ratus orang, bersama-sama dengan
keluarga mereka. Jadi di dalam lingkungan tembok ibukota kerajaan tinggal
kelompok elit dan non elit, dengan raja dan keluarganya mengambil tempat
tersendiri. Menurut berita-berita Cina raja tiap hari mengadakan pertemuan
dengan putra mahkota, para pangeran, para pejabat tinggi kerajaan dan pendeta penasehat
raja. Biasanya raja mengambil keputusan setelah mendengarkan pendapat dari para
pejabat yang hadir sebagai contoh dapat dikemukakan di sini prasasti
Sarwadharma tahun 1191 saka (31 oktober 1269 M). Di dalam prasasti ini
diperingati permohonan rakyat dari desa-desa yang menjadi punpunan Sang Hyang
Sarwwadharma di wilayah Janggala dan Pangjalu agar mereka itu dibebaskan dari
ikatan thanibala, sehingga tidak perlu lagi membayar bermacam-macam pungutan.
Dalam kehidupan sehari-hari rakyat tidak terlepas dari
kebutuhan akan hiburan. Prasasti-prasasti dan relief candi-candi, teritama
Candi Borobudur dan Prambanan, banyak member data tentang bermacam-macam seni
pertunjukan. Tentang pertunjukan wayang di dalam prasasti Wukajana dari masa
pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung.Pada pertunjukan wayang kulit dan
petilan wayang orang serta pembacaan ceritera Ramayana ada lagi pertunjukan
lawak mamirus dan mabanol. Pertunjukan lawak hampir dijumpai di semua prasasti
yang menyebut upacara penetapan sima secara terperinci.Tarian-tarian juga
sering dipertunjukan pada upacara penetapan sima. Ada tari-tarian yang dapat
ditarikan bersama oleh laki-laki dan perempuan, orang-orang tua dan
pemuda-pemudi, dan ada juga tarian khusus seperti tuwung, bungkuk, ganding, dan
rawanahasta. Ada juga tari topeng (matapukan). Tarian itu biasanya diiringi
dengan gamelan. Ternyata prasati dan relief candi menampilkan jenis alat
gamelan yang terbatas, anatra lain semacam gendang (padahi) kecer atau simbal
(regang), semacam gambang, saron, kenong, beberapa macam bentuk kecapi(wina),
seruling dan gong.
Adanya berbagai macam tarian yang diiringi oleh gamelan
yang terbatas itu dijumpai di relief Candi Prambanan dan Borobudur. Diantaranya
kita dapat melihat tarian perang, seorang wanita menari sendiri, adegan yang
menggambarkan semacam reog di Jawa Barat, dan lain-lain. Adegan wanita yang
menari sendiri diikuti oleh beberapa orang laki-laki yangbertepuk tangan
mengingatkan kita pada keterangan di dalam prasasti Poh yang menyebut rara
mabhramana tinonton mwang were werehnya (gadis yang berkeliling untuk ditonton
dengan orang laki-laki), mungkin semacam teledek yang ngamen berkeliling dari
desa ke desa yang lain.Berbagai macam tontonan itu tentu saja ridak hanya
dipertunjukkan pada waktu ada upacara penetapan sima. Ada dalang, penabuh
gamelan, penari dan pelawak professional, yang memperoleh sumber penghasilan
dari profesinya tersebut. Seperti telah dikatakan di atas bahwa para seniman
itu masuk ke dalam kelompok wargga kilalan.
2.3 Penyebab
Keruntuhan Kerajaaan Mataram Kuno
Runtuhnya
kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, disebabkan
oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar.
Kemudian lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh
kerajaan, sehingga candi-candi tersebut menjadi
rusak.Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram disebabkan oleh krisis
politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya kerajaan dan
perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi. Di Jawa
Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan tidak
terdapatnya pelabuhan strategis.Sementara di Jawa Timur, apalagi
di pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan,
dan dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan. Mpu
Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika
Wawa menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan
dinasti Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan.
Mpu Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk Kerajaan
Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat di Jawa
Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M.Sumber
sejarah yang berkenaan dengan Kerajaan Mataram di Jawa Timur antara
lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti Limus,
prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti Silet,
prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi
penyerahan kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya
yaitu Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
A. Awal
Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 732 masehi. Kerajaan ini berdiri di desa Canggal (sebelah barat Magelang). Pada saat itu didirikan sebuah Lingga (lambang siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja yang didirikan oleh Raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah pulau mulia, Jawadwipa yang dimana daerah ini merupakan daerah yang kaya raya akan hasil bumi terutama padi dan emas sehingga di masa selanjutnya kerajaan ini banyak melakukan hubungan dagang dengan daerah lain.
B. Tatanan Birokasi Kerajaan Mataram Kuno
Selama 178 tahun berdiri, kerajaan mataram kuno dipimpin oleh raja-raja yang sebagian terkenal dengan keberanian, kebijaksanaan dan sikap toleransi terhadap agama lain.
Adapun raja-raja yang sempat memerintah kerajaan Mataram Kuno antara lain:
a. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
b. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
c. Sri Maharaja Rakai Panunggalan (780-800 M)
d. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)
e. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)
f. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840-863 M)
g. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (863-882 M)
h. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882-898 M)
i. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M)
Kerajaan mataram kuno dipimpin pertama kali oleh Raja Sanjaya yang terkenal sebagai seorang raja yang besar, gagah berani dan bijaksana serta sangat toleran terhadap agama lain. Ia adalah penganut Hindu Syiwa yang taat. Setelah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya meninggal dunia, beliau kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sankhara yang bergelar Rakai Panangkaran Dyah Sonkhara Sri Sanggramadhanjaya. Raja Panangkaran lebih progresif dan bijaksana daripada Sanjaya sehingga Mataram Kuno lebih cepat berkembang. Daerah-daerah sekitar Mataram Kuno segera ditaklukkan, seperti kerajaan Galuh di Jawa Barat dan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya. Ketika Rakai Panunggalan berkuasa, kerajaan Mataram Kuno mulai mengadakan pembangunan beberapa candi megah seperti candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, candi Mendut, dan Candi Borobudur.
Kemudian setelah Rakai Panunggalan meninggal, beliau digantikan oleh Rakai Warak. Pada zaman pemerintahan Rakai Warak, ia lebih mengutamakan agama Buddha dan Hindu sehingga pada saat itu banyak masyarakat yang mengenal agama tersebut. Setelah Rakai Warak meninggal kemudian digantikan oleh Rakai Garung. Pada masa pemerintahan Rakai garung pembangunan kompleks candi dilanjutkan di Jawa Tengah bagian utara terutama di sekitar pegunungan Dieng. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di dataran tinggi Dieng, seperti candi Semar, candi Srikandi, candi Punta dewa, candi Arjuna dan candi Sembadra. Selain itu di bangun pula kompleks candi Gedong Sanga yang terletak di sebelah kota Semarang sekarang.
Setelah Rakai Garung meninggal ia digantikan oleh Rakai Pikatan. Berkat kecakapan dan keuletan Rakai Pikatan, semangat kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya pun bertambah luas meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ia pun memulai pembangunan candi Hindu yang lebih besar dan indah yaitu candi Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di desa Prambanan. Setelah Raja Pikatan wafat ia digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi Kerajaan banyak menghadapi masalah dan berbagai persoalan yang rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga kerajaan. Selain itu zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar serta banyak terjadi perang saudara.
Saat Rakai Kayuwangi meninggal ia digantikan oleh Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang berhasil melanjutkan pembangunan Candi Prambanan. Kemudian setelah Rakai Watuhumalang meninggal ia digatikan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pada masa pemerintahan Rakai Dyah Balitung dikenal 3 jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi sesudah raja), rarkyan i halu dan rarkyan i sirikan. Ketiganya merupakan tritunggal. Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910 M dan meninggalkan banyak prasasti (20 buah). Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerang Bantan (Bali). Setelah Rakai Watukura Dyah Balitung wafat ia digantikan oleh Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Sebelumnya ia menjabat sebagai rakryan i hino. Ia memerintah dari tahun 913-919 M. Pada masa pemerintahan Raja Daksa inilah pembangunan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Pada tahun 919 M Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasanmattanuragatunggadewa. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol.
Pengganti Tulodhong adalah Wawa. Ia naik tahta pada tahun 924 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga. Sri Baginda dibantu oleh Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai Mahamantri i hino.
C. Sumber-Sumber Prasasti
Mengenai bukti yang menjadi sumber sejarah berlangsungnya kerajaan Mataram dapat diketahui melalui prasasti-prasasti dan bangunan candi-candi yang dapat Anda ketahui sampai sekarang. Prasasti-prasasti yang menjelaskan tentang keberadaan kerajaan Mataram tersebut yaitu antara lain:
a. Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka tahun 723M dalam bentuk Candrasagkele. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula Sanne kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanne).
b. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha). Bangunan suci seperti yang tertera dalam prasasti Kalasan tersebut ternyata adalah candi Kalasan yang terletak di sebelah timur Yogyakarta.
c. Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jateng berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.
d. Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya. Menurut para ahli bahwa yang dimaksud dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di Komplek Prambanan dan nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.
D. Sumber berupa Candi
Selain prasasti yang menjadi sumber sejarah adanya kerajaan Mataram juga banyak bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, yang manjadi bukti peninggalan kerajaan Mataram yaitu seperti Candi pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, yang terletak di Jawa Tengah Utara. Selanjutnya di Jawa Tengah bagian selatan juga banyak ditemukan candi antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sambi Sari, dan masih banyak candi-candi yang lain.
Dari prasasti-prasasti maupun candi-candi tersebut, maka dapat diketahui keberadaan kerajaan Mataram dalam berbagai bidang kehidupan untuk lebih jelasnya maka simak dengan baik uraian berikut ini.
E. Aspek Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh dua dinasti atau wangsa yaitu wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan wangsa Syaelendra yang beragama Budha. Pada awalnya mungkin yang berkuasa adalah wangsa Sanjaya, hal ini sesuai dengan prasasti Canggal. Tetapi setelah perkembangan berikutnya muncul keluarga Syaelendra. Menurut para ahli, keluarga Sanjaya terdesak oleh Keluarga Syaelendra, tetapi mengenai pergeseran kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah dan memiliki hubungan yang erat, hal ini sesuai dengan prasasti Kalasan. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syaelendra seperti yang tertera dalam prasasti Ligor, Nalanda maupun Klurak adalah Bhanu, Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan raja-raja dari dinasti Sanjaya yang tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram yang berasal dari abad 8-9 yang bercorak Hindu yang terletak di Jateng bagian utara dan yang bercorak Budha terletak di Jateng selatan , untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti Sanjaya di Jateng bagian utara, dan kekuasaan dinasti Syaelendra di Jateng selatan. Kedua dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudyawardani yang bergelar Sri Kahulunan. Pramudyawardani tersebut adalah putri dari Samaratungga. Raja Samaratungga selain mempunyai putri Pramudyawardani , juga mempunyai putera yaitu Balaputradewa (karena Samaratungga menikah dengan keturunan raja Sriwijaya). Kegagalan Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, maka menyingkir ke Sumatera menjadi raja Sriwijaya. Untuk selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terakhir yaitu Wawa.
Pada masa pemerintahan Wawa sekitar abad 10, Mataram di Jateng mengalami kemunduran dan pusat penerintahan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sendok. Dengan adanya perpindahan kekuasaan dari Jateng ke Jatim oleh Mpu Sendok, maka Mpu Sendok mendirikan dinasti baru yaitu dinasti Isyana dengan kerajaannya adalah Medang Mataram. Berdasarkan prasasti Calcuta, maka silsilah raja-raja yang memerintah di kerajaan Medang Mataram dapat diketahui.
Pada tahun 1017 M kerajaan Medang pada masa Dharmawangsa mengalami pralaya/kehancuran akibat serangan dari Wurawari dan yang berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut adalah Airlangga. Tahun 1023 Airlangga dinobatkan oleh pendeta Budha dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa. Pada awal pemerintahannya Airlangga berusaha menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, dan melakukan pembangunan di dalam negeri dengan memindahkan ibukota kerajaan Medang dari Wutan Mas ke Kahuripan tahun 1031, serta memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, dan membangun bendungan Wringin Sapta. Dengan demikian usaha-usaha yang dilakukan oleh Airlangga mendatangkan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Tetapi kemudian tahun 1041 Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan untuk membagi kekuasaan menjadi 2 kerajaan. Kedua kerajaan tersebut adalah Jenggala dan Panjalu. Pada awalnya pembagian kerajaan tersebut dalam rangka menghindari perebutan kekuasaan diantara putera-putera Airlangga. Tetapi ternyata hal ini yang menjadi penyebab kerajaan Medang mengalami kehancuran.
F. Aspek Kehidupan Sosial
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong royong dalam membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak ada kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam pembangunan tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat oleh penduduk desa ternyata juga di hormati dan dijalankan oleh para pegawai istana. Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan erat antara rakyat dan kalangan istana.
G. Aspek Kehidupan Ekonomi
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya.Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut. Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarnya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
H. Aspek Kehidupan Kebudayaan Hindu-Buddha
Semangat kebudayaan masyarakat Mataram Kuno sangat tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti dan candi. Prasasti peniggalan dari Kerajaan Mataram Kuno, seperti prasasti Canggal (tahun 732 M), prasasti Kelurak (tahun 782 M), dan prasasti Mantyasih (Kedu). Selain itu, juga dibangun candi Hindu, seperti candi Bima, candi Arjuna, candi Nakula, candi Prambanan, candi Sambisari, cadi Ratu Baka, dan candi Sukuh. Selain candi Hindu, dibangun pula candi Buddha, misalnya candi Borobudur, candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, dan candi Mendut. Mereka juga telah mengenal bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Selain itu, masyarakat kerajaan Mataram Kuno juga mampu membuat syair.
I. Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
Kemunduran kerajaan Mataram Kuno disebabkan karena kedudukan ibukota kerajaan yang semakin lama semakin lemah dan tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh:
1) Tidak memiliki pelabuhan laut sehingga sulit berhubungan dengan dunia luar,
2) Sering dilanda bencana alam oleh letusan Gunung Merapi,
3) Mendapat ancaman serangan dari kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu pada tahun 929 M ibukota Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur (di bagian hilir Sungai Brantas) oleh Empu Sindok. Pemindahan ibukota ke Jawa Timur ini dianggap sebagai cara yang paling baik. Selain Jawa Timur masih wilayah kekuasaan Mataram Kuno, wilayah ini dianggap lebih strategis. Hal ini mengacu pada letak sungai Brantas yang terkenal subur dan mempunyai akses pelayaran sungai menuju Laut Jawa. Kerajaan itu kemudian dikenal dengan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur atau Kerajaan Medang Kawulan.
Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang berdiri pada tahun 732 masehi. Kerajaan ini berdiri di desa Canggal (sebelah barat Magelang). Pada saat itu didirikan sebuah Lingga (lambang siwa) diatas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja yang didirikan oleh Raja Sanjaya. Daerah ini letaknya di sebuah pulau mulia, Jawadwipa yang dimana daerah ini merupakan daerah yang kaya raya akan hasil bumi terutama padi dan emas sehingga di masa selanjutnya kerajaan ini banyak melakukan hubungan dagang dengan daerah lain.
B. Tatanan Birokasi Kerajaan Mataram Kuno
Selama 178 tahun berdiri, kerajaan mataram kuno dipimpin oleh raja-raja yang sebagian terkenal dengan keberanian, kebijaksanaan dan sikap toleransi terhadap agama lain.
Adapun raja-raja yang sempat memerintah kerajaan Mataram Kuno antara lain:
a. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
b. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
c. Sri Maharaja Rakai Panunggalan (780-800 M)
d. Sri Maharaja Rakai Warak (800-820 M)
e. Sri Maharaja Rakai Garung (820-840 M)
f. Sri Maharaja Rakai Pikatan (840-863 M)
g. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (863-882 M)
h. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882-898 M)
i. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M)
Kerajaan mataram kuno dipimpin pertama kali oleh Raja Sanjaya yang terkenal sebagai seorang raja yang besar, gagah berani dan bijaksana serta sangat toleran terhadap agama lain. Ia adalah penganut Hindu Syiwa yang taat. Setelah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya meninggal dunia, beliau kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sankhara yang bergelar Rakai Panangkaran Dyah Sonkhara Sri Sanggramadhanjaya. Raja Panangkaran lebih progresif dan bijaksana daripada Sanjaya sehingga Mataram Kuno lebih cepat berkembang. Daerah-daerah sekitar Mataram Kuno segera ditaklukkan, seperti kerajaan Galuh di Jawa Barat dan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya. Ketika Rakai Panunggalan berkuasa, kerajaan Mataram Kuno mulai mengadakan pembangunan beberapa candi megah seperti candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, candi Mendut, dan Candi Borobudur.
Kemudian setelah Rakai Panunggalan meninggal, beliau digantikan oleh Rakai Warak. Pada zaman pemerintahan Rakai Warak, ia lebih mengutamakan agama Buddha dan Hindu sehingga pada saat itu banyak masyarakat yang mengenal agama tersebut. Setelah Rakai Warak meninggal kemudian digantikan oleh Rakai Garung. Pada masa pemerintahan Rakai garung pembangunan kompleks candi dilanjutkan di Jawa Tengah bagian utara terutama di sekitar pegunungan Dieng. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di dataran tinggi Dieng, seperti candi Semar, candi Srikandi, candi Punta dewa, candi Arjuna dan candi Sembadra. Selain itu di bangun pula kompleks candi Gedong Sanga yang terletak di sebelah kota Semarang sekarang.
Setelah Rakai Garung meninggal ia digantikan oleh Rakai Pikatan. Berkat kecakapan dan keuletan Rakai Pikatan, semangat kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya pun bertambah luas meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ia pun memulai pembangunan candi Hindu yang lebih besar dan indah yaitu candi Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di desa Prambanan. Setelah Raja Pikatan wafat ia digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi Kerajaan banyak menghadapi masalah dan berbagai persoalan yang rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga kerajaan. Selain itu zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar serta banyak terjadi perang saudara.
Saat Rakai Kayuwangi meninggal ia digantikan oleh Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang berhasil melanjutkan pembangunan Candi Prambanan. Kemudian setelah Rakai Watuhumalang meninggal ia digatikan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pada masa pemerintahan Rakai Dyah Balitung dikenal 3 jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi sesudah raja), rarkyan i halu dan rarkyan i sirikan. Ketiganya merupakan tritunggal. Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910 M dan meninggalkan banyak prasasti (20 buah). Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung pernah menyerang Bantan (Bali). Setelah Rakai Watukura Dyah Balitung wafat ia digantikan oleh Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya. Sebelumnya ia menjabat sebagai rakryan i hino. Ia memerintah dari tahun 913-919 M. Pada masa pemerintahan Raja Daksa inilah pembangunan Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Pada tahun 919 M Daksa digantikan oleh Tulodhong yang bergelar Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodhong Sri Sajanasanmattanuragatunggadewa. Masa pemerintahan Tulodhong sangat singkat dan tidak terjadi hal-hal yang menonjol.
Pengganti Tulodhong adalah Wawa. Ia naik tahta pada tahun 924 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wajayalokanamottungga. Sri Baginda dibantu oleh Empu Sindok Sri Isanawikrama yang berkedudukan sebagai Mahamantri i hino.
C. Sumber-Sumber Prasasti
Mengenai bukti yang menjadi sumber sejarah berlangsungnya kerajaan Mataram dapat diketahui melalui prasasti-prasasti dan bangunan candi-candi yang dapat Anda ketahui sampai sekarang. Prasasti-prasasti yang menjelaskan tentang keberadaan kerajaan Mataram tersebut yaitu antara lain:
a. Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka tahun 723M dalam bentuk Candrasagkele. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula Sanne kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanne).
b. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha). Bangunan suci seperti yang tertera dalam prasasti Kalasan tersebut ternyata adalah candi Kalasan yang terletak di sebelah timur Yogyakarta.
c. Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jateng berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.
d. Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya. Menurut para ahli bahwa yang dimaksud dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di Komplek Prambanan dan nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.
D. Sumber berupa Candi
Selain prasasti yang menjadi sumber sejarah adanya kerajaan Mataram juga banyak bangunan-bangunan candi di Jawa Tengah, yang manjadi bukti peninggalan kerajaan Mataram yaitu seperti Candi pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, yang terletak di Jawa Tengah Utara. Selanjutnya di Jawa Tengah bagian selatan juga banyak ditemukan candi antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sambi Sari, dan masih banyak candi-candi yang lain.
Dari prasasti-prasasti maupun candi-candi tersebut, maka dapat diketahui keberadaan kerajaan Mataram dalam berbagai bidang kehidupan untuk lebih jelasnya maka simak dengan baik uraian berikut ini.
E. Aspek Kehidupan Politik
Kerajaan Mataram diperintah oleh dua dinasti atau wangsa yaitu wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa dan wangsa Syaelendra yang beragama Budha. Pada awalnya mungkin yang berkuasa adalah wangsa Sanjaya, hal ini sesuai dengan prasasti Canggal. Tetapi setelah perkembangan berikutnya muncul keluarga Syaelendra. Menurut para ahli, keluarga Sanjaya terdesak oleh Keluarga Syaelendra, tetapi mengenai pergeseran kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas kedua-duanya sama-sama berkuasa di Jawa Tengah dan memiliki hubungan yang erat, hal ini sesuai dengan prasasti Kalasan. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syaelendra seperti yang tertera dalam prasasti Ligor, Nalanda maupun Klurak adalah Bhanu, Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan raja-raja dari dinasti Sanjaya yang tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram yang berasal dari abad 8-9 yang bercorak Hindu yang terletak di Jateng bagian utara dan yang bercorak Budha terletak di Jateng selatan , untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti Sanjaya di Jateng bagian utara, dan kekuasaan dinasti Syaelendra di Jateng selatan. Kedua dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudyawardani yang bergelar Sri Kahulunan. Pramudyawardani tersebut adalah putri dari Samaratungga. Raja Samaratungga selain mempunyai putri Pramudyawardani , juga mempunyai putera yaitu Balaputradewa (karena Samaratungga menikah dengan keturunan raja Sriwijaya). Kegagalan Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, maka menyingkir ke Sumatera menjadi raja Sriwijaya. Untuk selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti Sanjaya dengan rajanya yang terakhir yaitu Wawa.
Pada masa pemerintahan Wawa sekitar abad 10, Mataram di Jateng mengalami kemunduran dan pusat penerintahan dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sendok. Dengan adanya perpindahan kekuasaan dari Jateng ke Jatim oleh Mpu Sendok, maka Mpu Sendok mendirikan dinasti baru yaitu dinasti Isyana dengan kerajaannya adalah Medang Mataram. Berdasarkan prasasti Calcuta, maka silsilah raja-raja yang memerintah di kerajaan Medang Mataram dapat diketahui.
Pada tahun 1017 M kerajaan Medang pada masa Dharmawangsa mengalami pralaya/kehancuran akibat serangan dari Wurawari dan yang berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut adalah Airlangga. Tahun 1023 Airlangga dinobatkan oleh pendeta Budha dan Brahmana (pendeta Hindu) menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa. Pada awal pemerintahannya Airlangga berusaha menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, dan melakukan pembangunan di dalam negeri dengan memindahkan ibukota kerajaan Medang dari Wutan Mas ke Kahuripan tahun 1031, serta memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, dan membangun bendungan Wringin Sapta. Dengan demikian usaha-usaha yang dilakukan oleh Airlangga mendatangkan keamanan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Tetapi kemudian tahun 1041 Airlangga mundur dari tahtanya dan memerintahkan untuk membagi kekuasaan menjadi 2 kerajaan. Kedua kerajaan tersebut adalah Jenggala dan Panjalu. Pada awalnya pembagian kerajaan tersebut dalam rangka menghindari perebutan kekuasaan diantara putera-putera Airlangga. Tetapi ternyata hal ini yang menjadi penyebab kerajaan Medang mengalami kehancuran.
F. Aspek Kehidupan Sosial
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong royong dalam membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak ada kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam pembangunan tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat oleh penduduk desa ternyata juga di hormati dan dijalankan oleh para pegawai istana. Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan erat antara rakyat dan kalangan istana.
G. Aspek Kehidupan Ekonomi
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya.Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut. Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarnya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
H. Aspek Kehidupan Kebudayaan Hindu-Buddha
Semangat kebudayaan masyarakat Mataram Kuno sangat tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti dan candi. Prasasti peniggalan dari Kerajaan Mataram Kuno, seperti prasasti Canggal (tahun 732 M), prasasti Kelurak (tahun 782 M), dan prasasti Mantyasih (Kedu). Selain itu, juga dibangun candi Hindu, seperti candi Bima, candi Arjuna, candi Nakula, candi Prambanan, candi Sambisari, cadi Ratu Baka, dan candi Sukuh. Selain candi Hindu, dibangun pula candi Buddha, misalnya candi Borobudur, candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, dan candi Mendut. Mereka juga telah mengenal bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Selain itu, masyarakat kerajaan Mataram Kuno juga mampu membuat syair.
I. Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
Kemunduran kerajaan Mataram Kuno disebabkan karena kedudukan ibukota kerajaan yang semakin lama semakin lemah dan tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh:
1) Tidak memiliki pelabuhan laut sehingga sulit berhubungan dengan dunia luar,
2) Sering dilanda bencana alam oleh letusan Gunung Merapi,
3) Mendapat ancaman serangan dari kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu pada tahun 929 M ibukota Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur (di bagian hilir Sungai Brantas) oleh Empu Sindok. Pemindahan ibukota ke Jawa Timur ini dianggap sebagai cara yang paling baik. Selain Jawa Timur masih wilayah kekuasaan Mataram Kuno, wilayah ini dianggap lebih strategis. Hal ini mengacu pada letak sungai Brantas yang terkenal subur dan mempunyai akses pelayaran sungai menuju Laut Jawa. Kerajaan itu kemudian dikenal dengan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur atau Kerajaan Medang Kawulan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara umum kerajaan
Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah berkuasa pada waktu
itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana.Istilah Isyana
berasal dari nama Sri Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar Mpu Sindok
setelah menjadi raja Medang (929–947). Silsilah Wangsa Isyana dijumpai dalam prasasti Pucangan
tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan Mpu
Sindok. Dalam masa 70 tahun itu tercatat hanya tiga prasasti yang berangka
tahun yang ditentuka, yaitu prasasti Hara-Hara tahun 888 Saka (966 M) prasasti
Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M) dan prasasti ucem tahun 934 Saka
(1012-1013 M).Usaha untuk meningkatkan dan
mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai
Kayuwangi. Yang diperdagagkan pertama-tama hasil bumi, seperti beras,
buah-buahan, sirih pinang, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga,
seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian,paying,keranjang, dan
barang-barang anyaman, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti
kerbau, sapi, kambing, itik, dan ayam serta telurnya juga di perjualbelikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhanny.
2010. Kerajaan Mataram Kuno. (Online),
(http://ilmusini.blogspot.com/2010/12/kerajaan-mataram-kuno.html), diakses 15
September 2013.
Dwi, Shindy. 2013. Perkembangan Kerajaan Mataram Jawa Timur Pada Wangsa Isyana Dan Dharmawangsa Teguh. (Online), (http://encuss26.blogspot.com/), diakses 15 September 2013.
Feedjit. 2011. Masa Perkembangan Dan Masa Keemasan. (Online), (http://stiebanten.blogspot.com/2011/10/makalah-kerajaan-mataram-kuno-dan.html), diakses 15 September 2013.
Hartini, Dwi. 2004. Pertumbuhan Dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha Di Indonesia. (Online), (http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/pembelajaran/bahan%20belajar%20e-dukasinet/produksi%202004/modul%20online/PDF/kelas%201/sej/sej106.PDF), diakses 15 September 2013.
Senda, Purna. 2012. Kerajaan Mataram Kuno Dan Perkembangannya. (Online), (http://www.slideshare.net/PurnaSenda/makalah-sejarah-15219353), diakses 15 September 2013.
Dwi, Shindy. 2013. Perkembangan Kerajaan Mataram Jawa Timur Pada Wangsa Isyana Dan Dharmawangsa Teguh. (Online), (http://encuss26.blogspot.com/), diakses 15 September 2013.
Feedjit. 2011. Masa Perkembangan Dan Masa Keemasan. (Online), (http://stiebanten.blogspot.com/2011/10/makalah-kerajaan-mataram-kuno-dan.html), diakses 15 September 2013.
Hartini, Dwi. 2004. Pertumbuhan Dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha Di Indonesia. (Online), (http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/pembelajaran/bahan%20belajar%20e-dukasinet/produksi%202004/modul%20online/PDF/kelas%201/sej/sej106.PDF), diakses 15 September 2013.
Senda, Purna. 2012. Kerajaan Mataram Kuno Dan Perkembangannya. (Online), (http://www.slideshare.net/PurnaSenda/makalah-sejarah-15219353), diakses 15 September 2013.
0 komentar :
Posting Komentar